G20 Johannesburg 2025: Dunia di Ambang Krisis, Pemimpin Global Siap Ambil Sikap
Menjelang G20 Summit 2025 yang akan digelar pada 22–23 November di Johannesburg, Afrika Selatan, dunia memasuki fase penuh ketidakpastian. Dengan tema besar presidensi Afrika Selatan Solidarity, Equality, Sustainability — KTT G20 tahun ini menjadi forum yang sarat harapan, sekaligus terperangkap dalam ketegangan geopolitik dan kegentingan ekonomi global.
Dibaca Juga : Realisasi KUR Tembus Rp238,7 Triliun: UMKM Kian Agresif Serap Pembiayaan
Sebagai tuan rumah pertama G20 di benua Afrika, Afrika Selatan berupaya menggeser fokus forum dari sekadar agenda ekonomi konvensional menuju isu yang lebih mendasar: kesenjangan global, keadilan sosial, dan keberlanjutan. Namun, di balik ambisi tersebut, banyak tarikan kepentingan yang berpotensi memecah konsensus.
1. Ketimpangan Global Jadi Sorotan Utama
Isu ketimpangan dunia menjadi pusat perdebatan paling panas. Sebuah komite ahli, dipimpin ekonom peraih Nobel Joseph Stiglitz, menyerukan pembentukan panel internasional untuk menangani apa yang mereka sebut sebagai “inequality emergency” — sebuah krisis yang menggerogoti stabilitas sosial-ekonomi negara-negara G20.
Komite itu mengungkap data mencolok: 1% elit global menyerap 41% kekayaan baru sejak tahun 2000, sementara 50% populasi terbawah hanya memperoleh 1%. Ketimpangan ekstrem dianggap berpotensi memicu instabilitas demokrasi dan memperdalam jurang antara negara maju dan negara berkembang.
Rekomendasi membentuk panel permanent mirip IPCC (untuk perubahan iklim) menunjukkan bahwa ketimpangan kini dipandang sebagai isu lintas-negara yang tak bisa diselesaikan sendirian oleh pemerintah nasional.
2. Keadilan Sosial dan Ketenagakerjaan: Mengoreksi Arah Ekonomi Global
Tema Equality yang diusung presidensi Afrika Selatan turut menempatkan isu pasar tenaga kerja di garis depan. G20 Employment Working Group menyoroti empat titik kritis:
– pekerjaan layak,
– kesetaraan gender,
– perlindungan sosial universal,
– dan akses bagi kaum muda.
Deklarasi Skukuza bahkan menegaskan komitmen untuk memperluas social protection floors, yaitu jaring pengaman minimum yang wajib dimiliki setiap negara, mencakup jaminan kesehatan, penghasilan dasar, hingga perlindungan saat menganggur.
Tantangannya jelas: bagaimana pendanaan global untuk perlindungan sosial akan dibagi secara adil tanpa memicu resistensi dari negara-negara donor?
3. Keberlanjutan Iklim: “Climate Justice” di Jantung Debat
Afrika menjadi simbol kontras perubahan iklim: kontribusi emisi sangat kecil, tetapi kerentanan terhadap dampaknya sangat besar. Presidensi G20 menegaskan bahwa keadilan iklim (climate justice) bukan lagi wacana, tetapi kebutuhan mendesak.
Prioritas yang diangkat mencakup:
– pendanaan iklim bagi negara berkembang,
– percepatan transisi energi,
– investasi besar-besaran untuk energi bersih di benua Afrika,
– dan mekanisme dukungan bagi negara yang terdampak bencana iklim.
Namun, negara maju berada dalam posisi sulit: mereka didesak meningkatkan kontribusi finansial, sementara tekanan domestik dan kepentingan industri bahan bakar fosil semakin kuat.
4. Krisis Utang Negara Berkembang: Bom Waktu Ekonomi Global
Banyak negara berkembang menghadapi krisis utang yang mengancam kemampuan mereka berinvestasi pada pembangunan jangka panjang. Presidensi G20 menegaskan bahwa reformasi arsitektur keuangan internasional menjadi kunci untuk menghindari keruntuhan fiskal.
Agenda yang dibawa Afrika Selatan menekankan:
– restrukturisasi utang,
– peningkatan transparansi kredit,
– dan reformasi lembaga finansial multilateral.
Namun, konsensus global mengenai keringanan utang selalu sulit dicapai karena perbedaan kepentingan antara negara kreditur dan debitur.
5. Kebangkitan Suara Global Selatan & Filosofi Ubuntu
Untuk pertama kalinya, G20 memberi ruang yang jauh lebih besar bagi Global South. Afrika Selatan mempromosikan filosofi Ubuntu — “saya ada karena kita ada” — sebagai kerangka moral kebijakan global.
Berbagai organisasi masyarakat sipil Afrika berusaha mendorong perspektif baru dalam pembahasan soal pembangunan, hak sosial, dan pengurangan aliran keuangan ilegal, yang selama ini merugikan negara berkembang.
G20 2025 menjadi ajang penting untuk membuktikan apakah suara Global South dapat mempengaruhi kebijakan global secara nyata, bukan hanya simbolis.
6. Ketidakhadiran Amerika Serikat: Geopolitik yang Mengusik
Isu geopolitik memanas setelah beberapa pejabat AS dari pemerintahan Trump menyatakan akan memboikot KTT G20 Johannesburg. Langkah ini memperlemah posisi AS di forum global dan memicu spekulasi mengenai masa depan pengaruh Washington di forum multilateral.
Ketidakhadiran ini memberikan ruang bagi negara lain termasuk BRICS dan negara Global Selatan untuk memodifikasi arah dan tone diskusi ekonomi global.
Mengapa G20 2025 Menjadi Titik Balik Global?
1. Karena dunia berada di persimpangan: ketimpangan, krisis iklim, dan ketidakstabilan ekonomi bukan lagi isu terpisah.
2. Karena Afrika membawa perspektif baru: fokus pada solidaritas dan kesetaraan menawarkan alternatif terhadap agenda G20 yang selama ini didominasi negara maju.
3. Karena risiko fragmentasi meningkat: ketegangan geopolitik mengancam kesepakatan global yang krusial.
4. Karena hasil G20 tahun ini dapat menentukan arah ekonomi dunia dalam dekade mendatang.
Ujian Berat Bagi Kepemimpinan Global
G20 Johannesburg 2025 adalah lebih dari sekadar pertemuan tahunan. Ini adalah ujian besar bagi solidaritas global, keadilan sosial, dan kemampuan negara-negara besar menanggalkan ego demi stabilitas dunia.
Dibaca Juga : Plafon KUR Naik Jadi Rp320 Triliun pada 2026, Pemerintah Hapus Batas Pengajuan
Keberhasilan atau kegagalannya akan menjadi penanda: apakah dunia sedang bergerak menuju kolaborasi besar-besaran atau justru terjerumus dalam era fragmentasi global.






