Analisasumut.com
Beranda Analisa NEWS Tragedi Tapteng: Jeritan Pilu Warga di Tengah Amukan Banjir Bandang dan Longsor

Tragedi Tapteng: Jeritan Pilu Warga di Tengah Amukan Banjir Bandang dan Longsor

Jeritan histeris warga meminta tolong menggelegar pagi itu, Selasa, 25 November 2025, mulai pukul 08.30 WIB. Kala itu banjir bandang mirip air bah membawa rongsokan kayu dan lumpur menerjang rumah-rumah penduduk, ditambah hujan deras yang terus mengguyur tanpa henti.

Dibaca Juga : Belum Ada Kepastian! Gaji PNS 2026 Masih Mengacu PP 5/2024, Begini Penjelasan Resminya

Setidaknya ada tujuh kelurahan dihantam banjir yang datang dari hulu Sungai Hutanabolon, antara lain Kelurahan Hutanabolon, Kelurahan Tukka, Kelurahan Bona Lumban, Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Aek Tolang Induk, Kelurahan Aek Tolang, Kelurahan Sitio-tio, dan Kelurahan Sibuluan.

Perbukitan hulu Sungai Pondok Bambu Hutanabolon, serta perbukitan hulu Sungai Sigultom Desa Sigiring-giring yang bermuara ke Sungai Hutanabolon, mengalami longsor dan membawa material kayu serta lumpur. Bahkan rumah penduduk di Desa Sigiring-giring tertimbun tanah longsor, dari puluhan rumah hanya 5 rumah yang tersisa.

Desa Sigiring-giring tepat berada di atas Hutanabolon. Dalam hitungan 3 jam atau sekira pukul 11.00 WIB, sejumlah wilayah kelurahan yang disebutkan di atas sudah dipenuhi air, kayu dan lumpur. Air berwarna tanah merah itu nyaris menutup atap rumah-rumah penduduk, seperti Perumahan Pandan Asri, dan rumah penduduk yang ada di sekitarnya.

Begitu juga badan Jalan Baru, Kelurahan Pasar Baru Pandan yang membentang sepanjang 2 kilometer terendam mencapai ketinggian 2,5 meter, dan bertahan hingga 20 jam, sebelum perlahan-lahan surut.

Sungguh volume air yang sangat besar. Beruntung kejadiannya pada pagi (terang) hari, membuat penduduk setempat sempat terjaga, dan bisa cepat menyelamatkan diri. Tidak terbayangkan kalau peristiwanya pada malam hari, atau subuh, kemungkinan ribuan orang akan meregang nyawa karena tidak tahu harus pergi ke mana, sebab gelap gulita, aliran listrik terputus total.

Meski demikian, luapan air yang besar bercampur kayu gelondongan besar dan lumpur membuat satu per satu penduduk setempat panik mengevakuasi diri. Apalagi mereka yang memiliki anak kecil dan orang tua yang sudah renta. Jeritan meminta tolong pun terdengar di mana-mana.

Hantaman banjir bandang terparah terjadi di Kelurahan Hutanabolon karena merupakan hulu sungai, dan wilayah perkampungannya yang sempit memanjang di lembah perbukitan. Berdasarkan data dari berbagai sumber, belasan penduduknya meninggal dunia dan puluhan hilang belum diketahui keberadaannya.

Ironinya, saat air bah datang tiba-tiba, ada istri yang terlepas dari pegangan suami, sehingga istrinya hanyut dan hilang, sampai sekarang belum ditemukan.

Suaminya adalah teman satu meja minum kopi, seorang pendeta. Orangnya baik dan kritis. Itulah alasannya datang kembali ke lokasi yang masih terisolir itu, sekaligus mengucapkan bela sungkawa kepada korban lainnya atas musibah ini. Sayang belum ketemu kendati sudah berusaha untuk mencarinya.

Di tempat dapur umum, dari pengungsi bercerita ada ayah yang lepas dari pertolongan anaknya, hanyut hingga hari ketiga belas pasca bencana belum juga ditemukan, dan banyak cerita lainnya.

Suara jerit tangis pilu manusia meraung di mana-mana, mencari anggota keluarga yang hilang maupun mengangkat jenazah dari himpitan akar, kayu, sampah dan timbunan lumpur. Tidak terlukiskan membayangkan bagaimana duka cita mendalam itu. Kiranya mereka tabah dan kuat menerima kejadian.

Selain korban meninggal dunia, di Hutanabolon terdapat kerusakan sejumlah rumah warga yang cukup berat serta persawahan yang luluh lantak. Harta benda hilang dan rusak, termasuk kendaraan bermotor dan mobil. Meski memang, kerusakan serupa juga terjadi di beberapa kelurahan lainnya, tetapi tidak separah yang di Hutanabolon.

Diperkirakan, selama satu periode (musim) tanam ke depan masyarakat petani yang ada di wilayah tersebut akan mengalami krisis pangan karena padi yang sudah menguning dan siap panen rusak diterjang banjir.

Demikian juga dua unit jembatan gantung yang terletak di Kelurahan Hutanabolon dan Kelurahan Bona Lumban, terputus karena tekanan banjir. Termasuk jembatan permanen di Aek Tolang dan Jalan Sidempuan–Pandan rusak.

Sulit rasanya menghitung kerugian materiil akibat banjir bandang yang menimpa Hutanabolon dan sekitarnya. Belum lagi bencana alam longsor yang menimpa rumah dan banjir terjadi di sejumlah titik di Kabupaten Tapanuli Tengah, dengan puluhan korban jiwa.

Warga Hutanabolon, Parulian Sinaga (56) mengatakan bencana banjir bandang dan longsor tanggal 25 November 2025, cukup dahsyat dan peristiwa paling mengerikan, pertama kali terjadi selama ini.

“Tidak pernah terlintas di pikiran kita air sungai akan membawa kayu-kayu gelondongan dan lumpur. Kalau banjir yang meluap dari sungai itu biasa. Tetapi kalau banjir bandang ini sudah sangat luar biasa, dan baru pertama terjadi,” ujar Parulian Sinaga yang sejak kecil hingga sekarang tinggal di Hutanabolon.

Pengalaman pahit serupa dialami warga di Desa Sigiring-giring, P. Gultom. Pria berusia 40 tahun ini menyebutkan rumah-rumah penduduk di desa tersebut sudah tertimbun tanah dan yang tersisa hanya 5 rumah.

“Kejadiannya pada pukul 08.00 WIB, namun tidak ada korban jiwa,” kata Gultom.

Warga Pasar Baru Pandan, Mareno Siregar (50), yang rumahnya berada di Jalan Baru Pandan mengatakan luapan air dari Hutanabolon mengalir begitu deras dalam hitungan 3 jam. Semula hanya satu lutut, tiba-tiba naik tajam hingga 2,5 meter, seketika warga sulit menyeberang jalan.

“Mirip air bah, kalau saya terlambat meninggalkan rumah, mengevakuasi anak-anak mengungsi mungkin saja ceritanya berbeda, karena air naik begitu cepat,” kata Mareno yang seisi rumahnya semua terendam air dan lumpur.

Untuk diketahui, akibat longsor di Desa Sigiring-giring dan beberapa titik lainnya, 3 desa di Kecamatan Tukka masih terisolir tanpa akses keluar masuk, antara lain Desa Tapian Nauli Saurmanggita. Jumlah 3 dusun dengan penduduk 90 KK atau sekitar 500-an jiwa.

Desa Aek Bontar, jumlah dusun 1 dengan penduduk 65 KK atau 358 jiwa. Longsor juga terjadi di desa tersebut menyebabkan 11 orang hilang, 3 orang di antaranya sudah ditemukan meninggal dunia. Kemudian, Desa Sait Kalangan, jumlah dusun 5 dengan jumlah penduduk 206 KK atau 1.100 jiwa.

Warga kampung terpaksa mengutus perwakilan berjalan kaki lintas hutan untuk mengangkut bahan makanan dari Pandan supaya mereka tidak mati kelaparan. Namun upaya tersebut tidak dapat bertahan lama mengingat banyaknya manusia yang harus ditanggung.

Hutanabolon maupun Sigiring-giring satu-satunya akses ke perkampungan terisolir tersebut. Pembersihan longsoran yang jatuh ke badan jalan maupun perbaikan badan jalan yang longsor membutuhkan waktu yang lama, sementara masyarakat harus bisa bertahan hidup. Sehingga satu-satunya cara mengutus perwakilan warga mencari perbekalan pangan ke Pandan.

Penyebab terjadinya banjir bandang dan longsor di Hutanabolon diduga karena hujan deras yang mengguyur selama sepekan terakhir, sehingga membuat tanah perbukitan gembur. Sementara akar kayu penopang air, tanah dan batu di perbukitan kian menipis mengingat banyaknya aktivitas penebangan kayu dan pergantian tanaman dari kayu hutan menjadi sawit.

Informasi yang diperoleh menyebutkan sepanjang jalan Desa Sigiring-giring ke Desa Tapian Nauli, tepatnya berada di atas perbukitan Hutanabolon sudah banyak alih fungsi tanaman hutan menjadi sawit. Sementara tanaman sawit kita tahu berakar serabut, bukan akar tunggal yang bisa menahan tanah, supaya tidak longsor.

Entah siapa yang salah, apakah alam yang sudah tua, atau kita yang serakah maupun bodoh sehingga bisa “diperbudak” kepentingan sesaat tanpa memikirkan dampak yang akan kita tanggung.

Tentunya kita bukan mencari kesalahan atas musibah yang terjadi. Tetapi bencana itu perlu menjadi refleksi untuk semakin berbenah di kemudian hari. Jika beberapa waktu lalu kita mudah menebangi kayu hutan tanpa menanami penggantinya atau jika beberapa waktu lalu kita mengganti tanaman hutan menjadi sawit, maka ke depan bisa dievaluasi kembali.

Begitu juga dengan pemerintah apabila sebelumnya mudah mengeluarkan izin penebangan kayu di hutan supaya semakin diperketat. Melakukan penanaman bibit pohon hutan kembali atau mencari pola untuk menghijaukan kembali hutan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kembali ratusan hektar lahan konsesi PLTA Sipan Sihaporas yang ada di atas Hutanabolon.

Memanggil PLTA Sipan Sihaporas dan mempresentasikan apa yang sudah mereka lakukan di lahan tersebut selama beroperasi di Kabupaten Tapanuli Tengah. Kalau memang tidak beres, pemerintah daerah bisa saja mengambil alih, sementara PLTA cukup melakukan monitoring atas pembiayaan untuk perawatan hutan konsesi. Atau setidaknya melibatkan aktivis lingkungan, tokoh masyarakat atau LSM untuk mengawasi penghijauan hutan di area konsesi.

Dibaca Juga : Gebrakan Pemkab Samosir! Kredit UMKM Tanpa Bunga Pertama di Sumut Resmi Diluncurkan

Memang harus keras dan tegas, kalau tidak bencana yang lebih besar bisa saja terjadi. Jangan karena kepentingan satu atau sekelompok orang atau korporasi sehingga kepentingan ribuan nyawa dipertaruhkan. Harapan kita ke depan, kejadian serupa jangan terulang lagi. Kalau tidak, semua bisa tinggal kenangan.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan