Ini Tanggapan Pengamat Tentang Utang Indonesia Naik 1,22 Persen
Jakarta Kenaikan utang Indonesia sebesar 1,22 persen mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk para pengamat ekonomi. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Keuangan, total utang pemerintah mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir. Kenaikan ini memicu diskusi mengenai dampaknya terhadap fiskal dan perekonomian nasional.
Menurut pengamat ekonomi, lonjakan utang tersebut masih dalam batas wajar, mengingat kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan pemulihan ekonomi pascapandemi. Namun, mereka juga mengingatkan pentingnya pengelolaan utang yang bijak agar tidak membebani anggaran negara di masa mendatang.
Baca juga : Setelah Ramai Diberitakan, Proyek Pengaspalan Diduga Ilegal Masih Berjalan
Selain itu, beberapa pihak mengkhawatirkan potensi risiko terhadap nilai tukar rupiah dan kepercayaan investor. Pemerintah pun diminta untuk lebih transparan dalam penggunaan utang serta memastikan bahwa dana yang diperoleh benar-benar dialokasikan untuk sektor produktif.
Sementara itu, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikan utang masih dalam kendali dan sesuai dengan strategi pembiayaan jangka panjang. Pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) agar tetap berada dalam batas aman sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pengamat Ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, mengatakan utang Indonesia yang mengalami kenaikan 1,22 persen menjadi sebesar Rp 8.909,14 triliun per Januari 2025, dikatakannya tidak sepenuhnya menjadi kabar buruk.
Menurutnya, angka yang cukup besar tersebut, masih jauh dari ambang batas rasio yang aman terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 60 persen.
“Utang Indonesia saat ini rasionya berada di 39,6 persen terhadap PDB, sebenarnya pemerintah masih punya peluang menambah porsi utangnya,” kata kepada Mistar melalui pesan teks, Rabu (12/4/2025).
Meskipun begitu, lanjut Gunawan, utang bisa menjadi masalah besar di saat tidak mampu menghasilkan uang untuk memenuhi pembayaran bunga dan cicilan pokok.
“Yang harus diwaspadai, porsi utang luar negeri dalam satuan mata uang asing mengalami peningkatan. Karena ketika meningkat, maka terjadi pelemahan kinerja ekspor,” ucapnya.
Hal tersebut, sambungnya, dapat menimbulkan potensi macet dan tidak terbayar menjadi besar. Kondisi tersebut berpeluang memicu guncangan pada ekonomi nasional.
“Ketika kita tidak mampu membayar kewajiban jatuh tempo, maka kredibilitas di mata internasional akan memudar. Kemudian berpeluang kehilangan kepercayaan investor, inflasi lonjakan harga pangan, hingga krisis ekonomi,” ujarnya.
Berbeda jika utang rupiah mendominasi, pengelolaan akan lebih mudah. Tapi tidak berarti dapat dilakukan secara serampangan dan tidak hati-hati.
“Saat kontribusi utang terhadap perekonomian tidak mampu menjadi akselerasi pertumbuhan, tidak bisa menghasilkan keuntungan, atau utang berada di ambang batas tidak aman, maka akan berpeluang mengalami krisis,” tuturnya.
Gunawan mengatakan, sejauh ini utang Indonesia belum menjadi ancaman serius bagi bangsa.
“Tapi perlu diwaspadai juga resesi di negara lain, bisa saja mendorong peningkatan risiko ketidakstabilan ekonomi nasional,” katanya.






