Ringgit Pembakar Luka: Potret Pahit Pekerja Kosong dari Asahan
Negeri Jiran sering kali dianggap sebagai tanah harapan bagi warga Sumatera Utara, terutama dari Asahan, di tengah sempitnya peluang kerja di tanah sendiri. Namun, mimpi itu tak jarang berubah menjadi luka. Banyak warga nekat menjadi pekerja migran ilegal dikenal dengan sebutan “pekerja kosong” demi mencari ringgit, meski harus bertaruh nyawa.
Para pekerja kosong ini masuk ke Malaysia tanpa dokumen resmi, sebagian besar hanya bermodalkan paspor pelancong. Mereka bekerja di sektor informal seperti buruh bangunan, pembantu rumah tangga, hingga pelayan toko. Karena tak terlindungi hukum, mereka rentan terhadap eksploitasi dan perdagangan manusia (TPPO).
Agus Salim, warga Air Joman, Asahan, menceritakan kisah getirnya saat pulang dari Malaysia secara ilegal pada 2021. Ia membayar 1.400 ringgit kepada agen di Kilang. Bersama puluhan orang lainnya, ia dipindah dari kapal ke kapal di tengah malam dan laut bergelombang, sebelum akhirnya mendarat di Asahan melalui jalur pelabuhan tikus. Bahkan setelah tiba, mereka masih harus membayar uang transit ratusan ribu rupiah. “Kapok, tak mau lagi ulangi,” ujarnya.
Kisah serupa dialami Rosmaili, warga Deli Serdang. Ia diselundupkan lewat perairan Asahan oleh calo dan ditinggalkan begitu saja. Belum sempat bekerja, ia ditangkap dan harus menebus kepulangan dengan biaya sendiri. “Jangankan dapat uang, malah jadi beban keluarga,” ucapnya menyesal.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Asahan, Meiliana, mencatat hanya 2.287 PMI asal Asahan yang terdata secara resmi hingga 2024. Sisanya tak terpantau. Jalur ilegal kerap dimanfaatkan oleh sindikat untuk mengirim pekerja non-prosedural, bahkan dari luar Asahan.
Baca juga : Malaysia Desak Gencatan Senjata, Bentrokan Kamboja–Thailand Makan Korban Sipil
Sepanjang 2025, sudah tiga kali aparat menggagalkan penyelundupan TKI ilegal melalui perairan Asahan. Mulai dari Januari hingga Mei, total 207 orang PMI non-prosedural diamankan dari kapal-kapal tanpa dokumen resmi.
Aktivis pekerja migran, Affandi Affan, menyoroti lemahnya edukasi hukum di daerah pengirim TKI. Ia menegaskan bahwa pengiriman PMI tanpa prosedur resmi adalah pelanggaran HAM. Menurutnya, Kementerian P2MI harus memperkuat regulasi dan memperluas akses bantuan hukum bagi PMI bermasalah di luar negeri.
“Edukasi hukum harus jadi fondasi. Masyarakat harus tahu risiko besar dari jalur ilegal. Bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi menyangkut keselamatan jiwa,” ujarnya.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebutuhan ekonomi masih menjadi pendorong utama orang nekat berangkat tanpa prosedur. Iming-iming calo dan minimnya pemahaman hukum makin memperkeruh keadaan.
Ringgit memang menggiurkan. Tapi banyak cerita yang membuktikan bahwa jalan pintas menuju negeri orang sering kali justru membawa luka yang dalam. Kini, tugas bersama adalah memastikan tidak ada lagi warga yang harus mempertaruhkan nyawanya demi secuil harapan di negeri seberang.






