Pengangguran Sumut Turun, Tapi Lulusan Sarjana Sulit Cari Kerja
Meskipun angka pengangguran di Sumatera Utara (Sumut) mengalami penurunan, lulusan sarjana masih menghadapi tantangan besar dalam mencari pekerjaan. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut menunjukkan bahwa pada Februari 2025, jumlah pengangguran mencapai 409 ribu orang, dengan lulusan SMA sebagai penyumbang tertinggi sebesar 40,11%. Namun, lulusan perguruan tinggi (D4, S1, S2, dan S3) juga menyumbang angka signifikan sebesar 19,41%
Fenomena ini mencerminkan bahwa gelar sarjana tidak lagi menjamin kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan. Banyak lulusan sarjana terpaksa beralih ke sektor informal, seperti berdagang atau membuka usaha kecil dan menengah (UMKM), karena terbatasnya lapangan kerja di sektor formal . Selain itu, kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, serta ekspektasi lulusan yang tinggi terhadap jenis pekerjaan, turut memperparah situasi .
Baca juga : Mayoritas Penduduk Bekerja di Sumut Berstatus Buruh dan Pekerja Informal
Kondisi ini menyoroti perlunya penyesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja, serta pentingnya pengembangan keterampilan yang relevan untuk meningkatkan daya saing lulusan sarjana di dunia kerja.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sumatera Utara (Sumut) menunjukkan tren penurunan berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mencatat TPT sebesar 5,05 persen, atau sekitar 5 dari setiap 100 orang angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan namun aktif mencari atau menunggu pekerjaan.
Angka ini turun tipis 0,05 persen dibandingkan Februari 2024. Penurunan terutama terjadi pada kelompok laki-laki yang TPT-nya menyusut sebesar 0,66 persen menjadi 4,86 persen.
Sebaliknya, TPT perempuan justru meningkat 0,84 persen menjadi 5,32 persen, menandakan masih ada ketimpangan gender dalam akses terhadap lapangan kerja.
Statistisi Ahli Utama BPS Sumut, Misfarudin, menyampaikan bahwa TPT mencerminkan tenaga kerja yang belum terserap pasar kerja dan menjadi indikator penting dalam menilai pemanfaatan angkatan kerja.
“Pengangguran adalah penduduk usia kerja, minimal 17 tahun, yang sedang mencari kerja, mempersiapkan usaha, atau telah diterima bekerja namun belum mulai bekerja,” katanya Minggu (11/5/2025).
Jika dilihat berdasarkan wilayah, TPT di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. TPT perkotaan berada di angka 6,29 persen, sementara di perdesaan hanya 3,265 persen.
Kedua wilayah mengalami penurunan dibanding Februari 2024, masing-masing sebesar 0,22 persen dan 0,06 persen.
Namun yang menjadi sorotan, tingkat pengangguran tertinggi justru terjadi pada kelompok lulusan pendidikan tinggi, yaitu Diploma IV, S1, S2, dan S3, dengan angka mencapai 8,10 persen.
Sementara itu, kelompok dengan tingkat pengangguran terendah justru berasal dari lulusan SD ke bawah, hanya sebesar 1,94 persen.
“Polanya hampir sama dengan Februari 2024, di mana lulusan tinggi masih sulit diserap pasar kerja,” ujar Misfarudin.






