Analisasumut.com
Beranda Analisa NEWS Masjid dan Gereja Berdampingan, Pematangsiantar Tunjukkan Wajah Toleransi Sejati

Masjid dan Gereja Berdampingan, Pematangsiantar Tunjukkan Wajah Toleransi Sejati

Di suatu sudut Jalan Medan, Simpang Pertamina, tepat di Kelurahan Pondok Sayur, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematangsiantar dua bangunan Masjid dan Gereja berdiri saling bersebelahan.

Dibaca Juga : BMKG Peringatkan Bibit Siklon 97S dan 98S: Hujan Lebat hingga Angin Kencang Ancam Banyak Daerah

Salah satu bangunan dengan menara kecil yang mengumandangkan azan setiap waktu masuk salat, satu laginya dengan menara lonceng sederhana yang memanggil jemaat pada setiap hari Minggu.

Masjid Bhakti dan Gereja GKPI, dua rumah ibadah yang telah puluhan tahun berdiri berdampingan menjadi simbol paling nyata dari wajah toleransi Kota Pematangsiantar.

Zamal, warga setempat mengatakan warga yang beragama muslim dan nasrani saling menghargai sesama pemeluk agama sehingga toleransi umat beragama menjadi hal yang biasa bagi warga setempat.

“Kalau ada aktivitas ibadah di masjid, pihak gereja menghargai. Begitu juga sebaliknya, kalau ada acara di gereja. Pihak masjid juga menghargai acara di gereja,” ujarnya.

Kota yang dikenal dengan oleh-oleh roti gandanya ini bukan hanya terkenal karena kulinernya. Kota Pematangsiantar juga menyandang predikat sebagai salah satu kota toleran kelima di Indonesia.

Namun bagi warga setempat, toleransi bukanlah slogan, bukan pula sekadar penghargaan yang terpampang dalam laporan tahunan. Toleransi adalah nafas kehidupan sehari-hari.

Hidup Rukun tanpa seremoni

Ketua Eksekutif Kota Pematangsiantar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND), Yudha Situmorang, menyampaikan apa yang banyak disebut orang-orang sebagai toleransi di Siantar bukanlah sesuatu yang dibuat untuk menjawab tuntutan publik.

“Ini adalah realitas sosial yang saya lihat setiap hari. Realitas yang lahir dari kesadaran masyarakat, bukan dari seremoni pemerintah,” ujar Yudha, warga Siantar yang bermukim di lokasi masjid dan gereja saling berdampingan, Minggu (16/11/2025).

Selama puluhan tahun, dua rumah ibadah itu berdiri berdampingan tanpa riak. Tidak pernah ada gesekan, apalagi konflik yang biasanya mudah dipolitisasi di tempat lain. Bagi warga Siantar, keberagaman bukan ancaman namun ia bagian dari denyut kota.

“Ini membuktikan bahwa masyarakat Siantar mempraktikkan kebhinekaan bukan karena tekanan, melainkan karena nilai budaya, tradisi gotong royong, dan identitas kolektif sebagai satu bangsa,” tuturnya.

Ketika politik identitas meninggi, Siantar mengajarkan keteguhan

Di banyak daerah, politik identitas kerap memecah belah ruang sosial. Tapi di Kota Pematangsiantar memilih jalannya sendiri. Dimana hal ini justru memperkuat ruang perjumpaan antar warga, bukan mempersempitnya.

“Persatuan tidak akan pernah lahir dari politik yang memanfaatkan perbedaan. Ia lahir dari kebijakan yang menjamin kesetaraan dan ruang dialog yang luas bagi rakyat,” ujarnya.

Yudha melanjutkan bagi LMND sendiri, banyak daerah di Indonesia dapat belajar dari Pematangsiantar. Bukan karena gelar kota toleran, karena praktik keseharian warganya yang membuktikan bahwa keberagaman bisa dijaga tanpa gaduh seremonial.

Ketika pemerintah tidak abai dan masyarakat memegang nilai kemanusiaan, kerukunan menjadi keniscayaan. “Dalam situasi bangsa yang tengah diuji oleh polarisasi, kami menegaskan bahwa toleransi, syarat dasar berlangsungnya demokrasi kerakyatan,” ujarnya.

LMND juga mendorong pemerintah pusat dan daerah memperluas kebijakan yang memperkuat interaksi sosial antarwarga, menolak segala bentuk diskriminasi, dan menindak tegas upaya merusak harmoni yang telah dirawat bertahun-tahun.

Masjid Bhakti dan Gereja GKPI berdiri berdampingan bukan hanya sebagai bangunan. Namun hal ini menjadi penanda bahwa Kota Pematangsiantar masih mampu merawat Kebhinekaan dimulai dari komunitas kecil yang selalu menjaga ruang aman bagi semua keyakinan.

Dibaca Juga : Warga Pakpak Bharat Dibegal di Laut Dendang, Pelaku Serang Korban hingga Alami Luka Serius

“Kota Pematangsiantar adalah bukti bahwa Indonesia bisa lebih baik. Dari kota inilah kita belajar bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekuatan untuk membangun bangsa yang beradab, berkeadilan, dan benar-benar demokratis,” ucapnya.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan