Lorong Sunyi Jalan Mesjid: Surga Percetakan di Tengah Kota Medan
Jalan Mesjid, yang terletak di Kelurahan Kesawan, Medan Barat, Kota Medan, pernah dikenal sebagai jantung percetakan Kota Medan.
Dari undangan pernikahan, faktur perusahaan, hingga dokumen instansi pemerintah, semua dicetak di sini.
Namun kini, deru mesin cetak yang dulu riuh nyaris 24 jam, berubah jadi keheningan panjang.
Yang tersisa hanya ruko-ruko sepi dan pemilik usaha yang berjibaku melawan zaman. Mati suri, sebuah istilah yang paling tepat menggambarkan situasi ini.
Usaha percetakan di Jalan Mesjid dan sekitarnya kian terhimpit perubahan zaman.
Sejak pandemi Covid-19, serta tumbuh kembangnya layanan digital secara masif, menjadi puncak badai yang menghantam bisnis mereka.
Baca Juga : Harga Cabai Merah di Kisaran Tembus Rp85 Ribu per Kg
Dari pantauan wartawan, sepanjang Jalan Mesjid tampak lengang. Hanya ada sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat yang parkir di halaman ruko-ruko, yang tak lain adalah milik pekerja maupun pengusaha percetakan.
Beberapa ruko tampak tertutup rapat lengkap dengan gemboknya. Ruko yang tertutup sebagian masih memiliki merek dan banner, lainnya benar-benar bersih tanpa nama.
Di sejumlah toko yang terbuka, tampak beberapa pegawai hanya sibuk mengobrol dengan yang lainnya, mendengar musik, bahkan ada juga yang sedang termenung.
Salah seorang pemilik usaha percetakan, M. Saifuddin (57), mengaku kondisi bisnisnya makin sulit.
“Sudah nggak ngerti lah gimana ini prospeknya ke depan, makin hancur percetakan ini,” katanya sambil mengusap wajahnya.
Kemerosotan bisnis percetakan tak hanya dirasakan Saifuddin, namun merata bagi para pebisnis lainnya, khususnya di Jalan Mesjid.
Ia menuding, kemerosotan bisnis ini karena perkembangan media sosial yang begitu mudah diakses.
Usaha percetakan yang dirintis Saifuddin sejak 2003 itu tampak hening. Sedikit pun tak terdengar suara mesin cetak yang bekerja.
Padahal dulu, mesin itu nyaris tak pernah berhenti, bahkan terkadang mereka sering diburu waktu karena banyaknya pesanan dari luar kota.
Ia mengingat masa-masa jaya percetakan di sana yang disebut sebagai wilayah percetakan terbesar kala itu. Masyarakat dari seluruh penjuru pasti datang ke Jalan Mesjid untuk segala urusan percetakan.
Tak hanya masyarakat, dari instansi pemerintahan juga biasanya akan membuat pesanan kop surat maupun faktur ke sana.
“Dulu banyak instansi yang datang. Seperti kertas pembayaran SSP (Surat Setoran Pajak), dicetak di sini. Bon faktur juga begitu. Sekarang mereka sudah pakai sistem online kan,” katanya.
Saifuddin mengaku, omzetnya anjlok lebih dari 60 persen dibanding 10 tahun lalu. Bahkan ia juga harus berjuang membayar sewa ruko yang mencapai Rp60 juta per tahun.
“Sekarang bisa bertahan saja sudah syukur. Pengeluaran sudah lebih besar dari pendapatan,” ujarnya sambil menghela napas panjang.
Saifuddin kini hanya mempekerjakan satu orang, padahal dulu pernah memiliki beberapa karyawan.
Dia mengatakan, dengan perhitungan sederhana agar mampu bertahan di tengah sepinya pesanan, mereka memakai sistem subsidi silang.
“Kami pakai sistem subsidi silang. Mana yang masih banyak, misalnya stamping poly, itu yang menopang. Kalau nggak, mana bisa bertahan,” ucapnya.
Ia menyebutkan, sebagian toko percetakan di sana memang tutup. Namun sebagian lainnya tetap membuka percetakan, tapi pindah ke daerah lain.
“Ini yang di depan toko, tetap dia buka percetakan. Tapi di (daerah) Padang Bulan dia bukanya,” kata Saifuddin.
Saifuddin mengaku, dunia digital yang makin berkembang pesat menjadi salah satu penyebab redupnya bisnis percetakan.
Namun, kata dia, usahanya mulai merosot sejak pandemi Covid-19 dan terus berlanjut hingga hari ini.
“Turun kali karena medsos-medsos ini,” keluhnya.
Menurutnya, perubahan perilaku konsumen juga menjadi salah satu penyebab.
“Sekarang orang-orang udah nggak perlu cetak 1.000 undangan lagi. Anak-anak muda kan lebih pintar main HP, tinggal pakai undangan online,” tutur pemilik toko Ari Sablon itu.
Pekerjanya, Anto, juga merasakan hal serupa. Ia yang sudah bekerja kurang lebih 14 tahun di sana, mengaku penurunan kali ini yang paling parah.
“Berdampak, sangat menurun dan tentu berpengaruh ke pendapatan. Ini yang paling hebat penurunannya,” ucapnya.
Meski demikian, ia memilih untuk tetap bertahan di sana.
“Kalau memutuskan berhenti, nanti malah nggak bisa makan. Cari kerja sekarang kan susah,” ujarnya lirih.
Anto yang dulu bekerja sebagai kuli sudah merasa lebih nyaman bekerja di percetakan itu.
Ia tidak ingin kembali berjuang mati-matian mencari kerja di tengah sulitnya perekonomian saat ini.
“Kalau diceritakan ya sedih lah, ini aja sampai merinding aku,” tuturnya dengan tawa kecil, sembari merapikan beberapa kertas.






