Kenaikan UMP 2026 Dinilai Harus Menjawab Kebutuhan Hidup Layak, Bukan Sekadar Formalitas
Ketua Serikat Pekerja Pemuda Mandiri (SPPM) Kota Pematangsiantar, Ferry Simarmata, menilai arah kebijakan nasional terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 menunjukkan sinyal positif bagi peningkatan kesejahteraan pekerja.
Dibaca Juga : Pemerintah Tancap Gas, Presiden Prabowo Percepat Penanganan Bencana di Sumatra
Namun menyebut implementasinya harus benar-benar berpihak pada pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) secara bertahap dan berkeadilan.
Menurutnya, kenaikan upah minimum kini tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari agenda kesejahteraan pekerja yang lebih komprehensif. Pemerintah mengombinasikan kebijakan upah dengan berbagai program pendukung seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Bantuan Subsidi Upah (BSU), subsidi perumahan, insentif pajak penghasilan, hingga Bantuan Hari Raya (BHR) bagi pekerja sektor informal dan digital.
“Ini menunjukkan negara mulai melihat kesejahteraan buruh secara utuh, bukan hanya dari besaran upah, tetapi juga perlindungan sosial dan daya beli,” ujar Ketua SPPM, Ferry Simarmata, Jumat (19/12/2025).
Ia menegaskan landasan hukum kebijakan UMP 2026 sudah semakin kuat, karena merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Bahkan juga, regulasi tersebut secara tegas mewajibkan pelibatan Dewan Pengupahan serta menekankan prinsip proporsionalitas antara kepentingan pekerja dan pengusaha.
Salah satu poin krusial yang disoroti SPPM adalah perubahan signifikan pada variabel alpha (α) dalam formula kenaikan upah minimum. Jika sebelumnya α berada pada rentang 0,1–0,3, kini diperluas menjadi 0,5–0,9. Menurut Ketua SPPM, kebijakan ini membuka ruang yang lebih realistis bagi daerah untuk menaikkan upah secara adil.
“Alpha bukan sekadar angka teknis. Ia merepresentasikan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dan menjadi instrumen penting untuk menutup kesenjangan antara UMP dan KHL,” katanya.
Namun demikian, Ferry mengingatkan tantangan utama masih terletak pada tingginya disparitas UMP dan UMK antar daerah. Dengan kondisi ekonomi yang sangat beragam, kenaikan upah tidak bisa diseragamkan secara nasional.
“Oleh karena itu, pendekatan KHL berbasis data konsumsi rumah tangga BPS dan standar ILO menjadi sangat relevan,” tuturnya.
Perhitungan KHL yang mencakup empat komponen utama makanan, perumahan, kebutuhan pokok lainnya, serta kesehatan dan pendidikan menunjukkan perbedaan yang signifikan antar provinsi, mulai dari sekitar Rp3 juta hingga hampir Rp6 juta per bulan.
“Data ini harus menjadi rujukan utama, bukan diabaikan. Berdasarkan simulasi yang ada, potensi kenaikan UMP 2026 berada pada kisaran 3 persen hingga lebih dari 10 persen, tergantung inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan nilai α yang disepakati Dewan Pengupahan daerah,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan kewajiban gubernur untuk menetapkan UMP dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), serta peluang menetapkan UMK dan UMSK paling lambat 24 Desember 2025. Dalam proses ini, peran Dewan Pengupahan dinilai sangat strategis, khususnya dalam menentukan nilai α yang seimbang antara kemampuan dunia usaha dan kebutuhan riil pekerja.
“Kami mendorong agar upah minimum sektoral benar-benar diterapkan pada sektor-sektor dengan risiko dan karakteristik kerja khusus, bukan sekadar formalitas,” ucapnya.
Teruntuk kabupaten/ kota, dan hal ini juga yang harus didorong bersama-sama, agar bagaimana dewan pengupahan setiap kabupaten/kota dan propinsi bisa bekerja maksimal dan memahami persoalan yang ada.
Bahwa, petunjuk dari peraturan presiden terbaru sangat membuka peluang terjadinya perbaikan upah menuju kelayakan hidup bagi buruh.
“Disinilah letak proporsionaloitas kenaikan upah dan hidup layak berdasarkan kondisi daerah masing-masing. Artinya, kenaikan upah ditentukan dengan kondisi ekonomi masing-masing daerah dan bukan penyeragaman,” ujarnya.
Dibaca Juga : Dorong Keterlibatan Orang Tua, Gerakan Ayah Ambil Rapor Diminati di Langkat
Menutup pernyataannya, Ketua SPPM menegaskan bahwa tujuan akhir kebijakan upah minimum harus jelas menaikkan upah secara bertahap menuju KHL, menjaga daya beli pekerja, sekaligus memastikan keberlanjutan usaha dan stabilitas ekonomi daerah. “UMP 2026 harus menjadi langkah nyata menuju keadilan sosial bagi pekerja, bukan sekadar penyesuaian angka tahunan,” ucapnya.






