Analisasumut.com
Beranda Analisa NEWS Hutan Mangrove, Penjaga Abrasi yang Kini Jadi Sumber Ekonomi di Deli Serdang

Hutan Mangrove, Penjaga Abrasi yang Kini Jadi Sumber Ekonomi di Deli Serdang

Hutan Mangrove

Hutan mangrove di pesisir Deli Serdang, Sumatra Utara, membawa banyak berkah bagi masyarakat setempat. Selain berperan melindungi pantai dari abrasi, mangrove juga memberikan nilai ekonomi bagi warga lokal.

Berbagai potensi ekonomi yang dikembangkan di kawasan ini meliputi budi daya kepiting, udang, dan ikan, hingga pemanfaatan mangrove untuk pewarna batik, dodol, jus, dan keripik.

Ponisah, Ketua Kelompok Kredit Union Wanita Daerah Pesisir, membudidayakan kepiting dan udang di bawah ekosistem mangrove.

“Satu orang mengelola hingga enam hektare untuk budi daya kepiting. Hasilnya bahkan bisa mencapai dua kali lipat dari bibit yang diberikan,” jelasnya saat ditemui, Senin (2/12/2024).

Hasil tambak kepiting dan udang warga tak hanya memenuhi pasar domestik tetapi juga diekspor ke Singapura dan Malaysia.

Harga kepiting yang tinggi, mencapai Rp250 ribu per kilogram, menjadi daya tarik utama bagi petambak lokal.

Hutan Mangrove sebagai Ekosistem Berkelanjutan

Kepala Desa Tanjung Rejo, Selamet, mengungkapkan bahwa wilayah seluas 4.114 hektare ini memiliki 600 hektare hutan mangrove yang dikelola bersama warga.

Mangrove tidak hanya menjadi pelindung ekosistem tetapi juga sumber pendapatan melalui wisata mangrove dan produk olahan.

Desa ini telah mendirikan taman edukasi mangrove “Cerdas Belajar dengan Alam” untuk meningkatkan kesadaran warga terhadap pentingnya pelestarian mangrove.

“Kami juga mengelola wisata mangrove di Dusun 13 Pantai Mangrove Paluh Getah yang dikelola Bumdes. Tahun 2024, Bumdes ini berhasil meraih juara satu tingkat Kabupaten Deli Serdang,” tambah Selamet.

Hutan Mangrove Menjadi Pewarna Batik Alami

Kelompok Sima Batik di desa ini memanfaatkan akar mangrove mati untuk menghasilkan hingga 22 warna alami sebagai pewarna kain batik. Produk kain batik dijual dengan harga bervariasi, dari Rp600 ribu untuk batik cap hingga Rp1,7 juta untuk batik tulis.

“Namun, kami masih terkendala fasilitas. Rumah produksi kecil, dan proses pengeringan kain tergantung cuaca,” ungkap Rahimi, anggota kelompok batik tersebut.

Selain pewarna batik, buah mangrove diolah menjadi berbagai produk seperti dodol, jus, selai, dan keripik. Produk ini dijual ke pasar domestik dan menjadi tambahan pendapatan warga.

Warga berharap adanya dukungan lebih lanjut untuk meningkatkan fasilitas produksi dan memperluas pasar.

Desa Tanjung Rejo, yang pernah dinobatkan sebagai Desa Anti-Korupsi oleh KPK pada 2022, kini menjadi contoh sukses pengelolaan mangrove berkelanjutan yang mendukung kesejahteraan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Deli Serdang terus membuktikan bahwa harmoni antara alam dan manusia dapat menciptakan peluang ekonomi yang berdampak luas, mulai dari produk lokal hingga ekspor internasional.

(NY/AS)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan