DPRD Sumut Desak Upaya Pencegahan Korupsi Diperkuat, Bukan Hanya Dihukum
Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Sumatera Utara (Sumut), Abdul Rahim Siregar menegaskan, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan penindakan, melainkan harus mengedepankan pencegahan yang sistemik serta berbasis nilai moral dan agama.
Menurutnya, 80 persen upaya pemberantasan korupsi seharusnya difokuskan pada pencegahan, sementara 20 persen sisanya pada penindakan.
“Kalau hanya mengandalkan penindakan, kita tidak akan pernah selesai memberantas korupsi. Pencegahan jauh lebih penting, dan itu harus dimulai dari kesadaran moral. Bukan karena takut ditangkap KPK, melainkan karena takut kepada Allah,” katanya kepada wartawan di Ruang Fraksi PKS DPRD Sumut, Rabu (1/10/2025).
Ia menyoroti berbagai praktik yang selama ini menjadi perhatian publik, seperti fenomena “uang ketok” yang diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Menurutnya, praktik tersebut jelas melanggar regulasi jika melibatkan dewan dalam pelaksanaan proyek, padahal seharusnya hanya berfungsi sebagai pengawas.
“Itu yang disebut KPK sebagai ‘uang ketok’ adalah praktik ilegal. Regulasi sudah jelas, dewan tidak boleh ikut dalam pelaksanaan, apalagi mengambil manfaat dari proyek,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai persoalan integritas di Indonesia seringkali muncul karena banyak pejabat hanya menghindari korupsi karena takut diproses hukum, bukan karena kesadaran moral.
“Selama orang hanya takut pada KPK, pemberantasan korupsi tidak akan tuntas. Kita harus mengembalikan ketakutan itu kepada yang sebenarnya, yakni kepada Allah. Takut karena nilai agama, karena tahu korupsi itu dosa, bukan sekadar pelanggaran hukum,” ucapnya.
Ia juga mengutip hasil sejumlah riset yang menunjukkan rata-rata pelaku korupsi di Indonesia justru berasal dari kalangan yang berkecukupan secara ekonomi, bahkan kaya, serta memiliki jabatan tinggi.
Baca juga : DPRD Batu Bara Sahkan Ranperda P-APBD 2025 Jadi Perda, APBD Defisit
“Saya tanya langsung ke masyarakat di berbagai tempat, mereka jawab yang korupsi itu orang kaya, orang yang punya jabatan, bukan orang miskin. Jadi ini soal keserakahan, bukan kebutuhan,” katanya.
Meski begitu, ia mengakui masih ada ruang abu-abu yang bisa membuka celah nepotisme, misalnya ketika pejabat menempatkan kerabat di jabatan tertentu. Namun hal itu, menurutnya, masih bisa ditoleransi jika benar-benar didasarkan pada kapasitas dan kompetensi sesuai aturan.
“Kalau anak atau kerabat memang punya kemampuan, tidak masalah selama sesuai prosedur dan bukan semata karena hubungan pribadi,” ucapnya.
Ia menegaskan solusi terbaik adalah kembali kepada sistem meritokrasi, yaitu sistem yang menempatkan seseorang berdasarkan kemampuan dan kualifikasi, bukan kedekatan atau relasi personal.
Rahim menambahkan, saat dirinya duduk di Komisi A DPRD Sumut, pihaknya telah mendorong evaluasi dan penguatan sistem merit melalui kerja sama dengan BKD (Badan Kepegawaian Daerah), PPSDM, hingga rektorat-rektorat perguruan tinggi.
“Nilai sistem kita pada tahun 2020-2021 masih sangat rendah, bahkan di bawah angka 100 dari skala maksimal 400. Tapi sekarang sudah meningkat ke angka 350. Ini capaian yang bagus, tapi jangan berhenti sampai di sini,” katanya.
Ia juga mengajak semua pihak, terutama pemerintah daerah, untuk mencontoh Provinsi Jawa Barat yang dinilai sukses menerapkan sistem merit secara konsisten dan transparan.
“Jawa Barat sudah menjalankan sistem yang baik dalam penempatan pejabat. Semua sesuai kapasitas, golongan, dan kemampuan. Ini harus jadi contoh bagi Sumatera Utara,” tuturnya.






