Analisasumut.com
Beranda Analisa NEWS Kasus Pencabulan Siswi: Eks Kepala SMP Dihukum 63 Bulan, Ini Tanggapan Pengacara Korban

Kasus Pencabulan Siswi: Eks Kepala SMP Dihukum 63 Bulan, Ini Tanggapan Pengacara Korban

Putusan majelis hakim PN Lubuk Pakam yang menjatuhkan hukuman 63 bulan penjara kepada mantan Kepala SMP Jaya Krama Beringin berinisial MK, 32 tahun saat sidang pekan lalu dalam kasus kekerasan seksual terhadap muridnya menuai kritik dari penasihat hukum korban.

Penasihat hukum korban, Andi Tarigan mengatakan vonis tersebut dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan dan dianggap mengabaikan prinsip perlindungan terbaik bagi anak.

Menurutnya, hukuman yang dijatuhkan masih jauh dari esensi keadilan bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

“Ketika derita anak tak terbaca, hukum kehilangan hatinya,” ujar Andi dalam pernyataannya, Kamis (4/12/2025).

Ia menilai baik jaksa maupun hakim belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak psikologis dan trauma mendalam yang dialami korban.

Baca Juga : Sidang Perdana Eks Kepala Sekolah Tersangka Pencabulan Siswi Digelar di PN Lubuk Pakam

“Jaksa dan hakim seolah gagal membaca derita seorang anak. Korban bukan angka, bukan berkas. Ia manusia kecil yang dihancurkan oleh orang yang dipercaya sebagai guru. Ketika pelaku hanya dihukum 63 bulan, negara terlihat tidak berdiri di sisi anak,” katanya.

Menurut Andi, keadilan seharusnya tidak berhenti pada batas minimal hukuman yang diatur Undang-undang, tetapi juga mencerminkan komitmen negara dalam melindungi anak sebagai kelompok paling rentan.

Dalam kasus ini, pelaku adalah seorang guru, profesi yang secara moral dan hukum memiliki tanggung jawab tinggi dalam melindungi anak.

Andi menilai, relasi kuasa tersebut seharusnya menjadi faktor pemberat dalam penjatuhan hukuman.

“Ketika guru menjadi pelaku, penghianatan moralnya jauh lebih besar. Penegak hukum seharusnya membaca itu sebagai faktor pemberat, bukan malah menghasilkan putusan yang hanya sekadar memenuhi formalitas hukuman dengan angka minimum,” katanya.

Andi mengingatkan Indonesia telah mengadopsi prinsip the best interest of the child atau kepentingan terbaik bagi anak melalui Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, serta Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.

“Prinsip kepentingan terbaik anak tidak boleh berhenti di seminar dan spanduk. Prinsip itu harus hidup dalam setiap putusan. Dalam kasus ini, ia mati,” ujarnya.

Atas putusan tersebut, Andi menyatakan akan mempertimbangkan langkah lanjutan, termasuk melaporkan perkara ini ke Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.

Langkah itu diambil demi memastikan proses hukum berjalan sesuai asas keadilan, terutama bagi korban kekerasan seksual.

“Trauma anak tidak punya tanggal kedaluwarsa. Tetapi hukuman yang dijatuhkan terasa seperti negara sedang memberi maaf murah kepada pelaku,” ucapnya.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan