Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia: Pemerintah Dianggap Abai Krisis Ekologis Danau Toba
Ekosistem Danau Toba kembali memasuki fase krisis ditandai dengan meningkatnya pencemaran lingkungan yang memicu kekhawatiran luas di tengah masyarakat.
Dibaca Juga : Pasca Banjir, Wali Kota Binjai Pantau Langsung Kegiatan Gotong Royong Warga
Informasi menyebutkan, air Danau Toba di kawasan Waterfront City (WFC) Pangururan pada Sabtu (29/11/2025) tampak keruh dan berubah warna.
Sejumlah warga juga menemukan ikan mati dan terapung di permukaan air, memperkuat dugaan penurunan drastis kualitas air danau.
Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Peneliti Pusat Geopark Indonesia, Wilmar Eliezer Simanjorang, menilai fenomena tersebut bukanlah hal baru yang terjadi di Danau Toba.
Ia menyebut kasus serupa telah berulang dalam beberapa tahun terakhir dan belum pernah ditangani pemerintah secara sistematis.
Menurut Wilmar, kondisi ini menunjukkan pola kerusakan ekologis yang semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Wilmar menegaskan penurunan kualitas air tersebut merupakan sinyal krisis lingkungan yang semakin serius.
Ia menjelaskan pemerintah sebelumnya telah menurunkan tim ahli untuk meneliti penyebab pencemaran di Danau Toba. Tim tersebut juga melakukan uji laboratorium sebagai dasar kebijakan penanganan yang seharusnya diambil pemerintah.
Bahkan, kata Wilmar, pemilik keramba jaring apung saat ini telah memindahkan kerambanya ke objek Wisata Tano Ponggol dan dekat waterfront city. Namun Pemkab Samosir tidak menertibkannya.
“Padahal lokasi tersebut merupakan objek wisata dan air danau digunakan warga sehari-harinya,” ujarnya.
Namun, Wilmar mengkritik hasil penelitian para ahli itu tidak pernah diumumkan kepada masyarakat secara terbuka.
Menurutnya, hal tersebut mencerminkan kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan lingkungan di kawasan Danau Toba.
Ia menilai masyarakat memiliki hak untuk mengetahui kualitas air yang mereka gunakan sehari-hari.
Wilmar menegaskan keterbukaan data merupakan langkah penting agar publik memahami risiko sekaligus ikut menjaga kelestarian danau.
Kekhawatiran masyarakat kembali meningkat setelah laporan bau belerang tercium di kawasan Pantai Harian, Kabupaten Samosir.
Temuan aroma tidak sedap itu muncul bersamaan dengan kondisi air yang keruh di WFC Pangururan dan adanya ikan mati yang mengapung.
Wilmar menilai kondisi tersebut sebagai indikator kuat kualitas air Danau Toba sedang mengalami gangguan besar.
Ia mengatakan laporan masyarakat seharusnya segera ditindaklanjuti dengan penelitian ilmiah yang transparan.
Namun, hingga kini pemerintah dinilai tidak menunjukkan keseriusan menghadapi krisis ekologis itu.
Wilmar menyebut minimnya informasi dan lambannya tanggapan pemerintah semakin memperburuk ketidakpercayaan publik.
Selain pencemaran air, ia memperingatkan potensi meningkatnya bencana hidrometeorologi dalam beberapa bulan mendatang.
Risiko banjir dan longsor disebut meningkat akibat kerusakan vegetasi di kawasan sekitar Danau Toba.
Wilayah rawan bencana meliputi Kecamatan Sitio-Sitio hingga perbatasan Silalahi serta kawasan Tomok, Ambarita, Lontung, dan Onan Runggu.
Ia menilai masifnya penebangan kayu menjadi penyebab utama meningkatnya ancaman tersebut.
Wilmar mendesak pemerintah bertindak cepat mengambil langkah tegas untuk menghentikan kerusakan ekologis di Danau Toba.
Ia juga meminta pelibatan masyarakat dalam setiap proses penanganan krisis lingkungan. Menurutnya, pemulihan Danau Toba harus dilakukan secara terbuka, ilmiah, dan berkelanjutan.
Dibaca Juga : Pengunjung Masjid Agung Lubuk Pakam Keluhkan Jukir Liar, Desak Pemerintah Bertindak
“Pemerintah dan peneliti harus transparan kepada publik supaya masyarakat mengetahui, memahami, dan mau menjaga lingkungan bersama,” ucapnya.






