Afrika Selatan di Ujung Tanduk Jelang G20, Mogok Nasional Women for Change Menarik Perhatian Dunia
Menjelang perhelatan KTT G20 2025 di Johannesburg, Afrika Selatan sedang berada di bawah sorotan internasional. Bukan hanya karena pertemuan yang akan dihadiri para pemimpin ekonomi dunia, tetapi juga karena meningkatnya gelombang protes sosial yang menuntut perhatian terhadap kekerasan berbasis gender (GBV) — salah satu krisis sosial terbesar di negara itu.
Dibaca Juga : Oknum Polisi Aniaya Pengendara Motor, Polda Sumut Jelaskan Rangkaian Kejadiannya
Di tengah persiapan ketat pemerintah, kelompok advokasi Women for Change mengumumkan rencana mogok nasional pada 21 November, tepat sehari sebelum KTT dimulai. Aksi ini diprediksi menjadi penanda penting bahwa isu sosial domestik tidak dapat diabaikan, bahkan saat negara sedang menjadi tuan rumah pertemuan global terbesar tahun ini.
Akar Ketegangan: Kekerasan Gender yang Tak Kunjung Reda
Seruan mogok nasional ini lahir dari realita yang mengkhawatirkan. Women for Change menyebut bahwa jumlah femisida di Afrika Selatan berada pada tingkat darurat, dengan perempuan dan komunitas LGBTQI+ terus menjadi kelompok paling rentan. Tingkat kekerasan yang tinggi mendorong seruan agar GBV dinyatakan sebagai bencana nasional, sehingga pemerintah wajib mengambil langkah struktural dan sistematis.
Aksi yang diusung bukan sekadar demonstrasi, melainkan shutdown: perempuan dan pendukung gerakan diminta berhenti bekerja, berhenti berbelanja, dan menghentikan aktivitas ekonomi selama satu hari. Tujuannya jelas — menunjukkan betapa besar kontribusi kelompok rentan terhadap ekonomi nasional, sekaligus menyorot dampak sosial bila suara mereka diabaikan.
Simbol Ungu dan Aksi Diam Nasional
Kampanye ini ditandai dengan warna ungu, yang kini ramai menghiasi media sosial dan ruang publik sebagai simbol solidaritas. Salah satu momen paling kuat yang direncanakan adalah aksi diam 15 menit pada pukul 12 siang, ketika masyarakat diminta berbaring sebagai bentuk penghormatan kepada korban femisida hari itu.
Simbolisme ini dipandang sebagai cara mengingatkan publik dan pemerintah: angka statistik bukan sekadar data, tetapi cerminan hidup manusia yang hilang setiap hari.
Resonansi Publik, Dukungan Organisasi, dan Respons Politik
Berbagai organisasi masyarakat sipil telah menyatakan dukungan terhadap shutdown ini. Kelompok bantuan trauma, lembaga sosial, hingga komunitas akar rumput bergerak dalam satu suara: keamanan perempuan harus menjadi prioritas nasional.
Namun respons politisi terbilang beragam. Sebagian mengakui urgensi krisis, tetapi menilai bahwa penyelesaiannya membutuhkan kerja sama masyarakat, bukan hanya tekanan publik di momen internasional seperti G20. Perdebatan ini menunjukkan betapa kompleksnya upaya mengatasi kekerasan gender secara struktural.
Pemerintah Fokus Keamanan G20, Warga Soroti Masalah Nyata
Sementara itu, pemerintah Afrika Selatan menegaskan bahwa semua persiapan G20 — mulai dari ribuan personel keamanan tambahan hingga penataan kota — telah dilakukan. Penyehatan infrastruktur berjalan cepat, termasuk perbaikan jalan, penerangan, dan ruang publik.
Namun bagi sebagian warga, langkah-langkah ini terkesan sebagai “make-up diplomatik” yang hanya dilakukan demi citra internasional, bukan untuk menjawab masalah sosial jangka panjang. Ketegangan pun muncul antara narasi kesiapan pemerintah dan tuntutan masyarakat yang merasa suaranya belum cukup diperhatikan.
Makna Politik dan Sosial dari Shutdown
Aksi Women for Change diperkirakan akan menjadi penanda penting dalam sejarah pergerakan perempuan di Afrika Selatan. Selain menunjukkan besarnya kekuatan kolektif perempuan dan kelompok rentan, aksi ini juga menantang pemerintah untuk mengarahkan reflektor G20 ke masalah nyata warganya sendiri.
Bagi komunitas internasional, shutdown ini berfungsi sebagai pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari keselamatan, kesejahteraan, dan keadilan gender. Afrika Selatan kini berada dalam ujian besar: apakah mampu menampilkan wajah demokrasi yang responsif kepada kebutuhan rakyatnya, atau sekadar menjadi tuan rumah megah tanpa perubahan substansial di akar persoalan?
Penutup: G20 dan Suara yang Tak Bisa Lagi Diabaikan
KTT G20 2025 mungkin akan menjadi momen diplomatik penting, tetapi bagi banyak warga Afrika Selatan, hari sebelum dimulainya pertemuan tersebut justru menjadi lebih bersejarah. Shutdown Women for Change bukan sekadar protes; ini adalah manifestasi aspirasi nasional yang menuntut perubahan nyata.
Dibaca Juga : DPRD Sumut Megawati Zebua Tetap Tersangka Kasus Penganiayaan Pramugari Wings Air
Ketika dunia menoleh ke Johannesburg, suara perempuan Afrika Selatan kini menggema lebih kuat dari sebelumnya menuntut agar keselamatan, martabat, dan hak-hak mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi global.






