Patung Jokowi Rp2,5 Miliar Diresmikan di Karo: Simbol Apresiasi atau Kontroversi Anggaran?
Di tengah hamparan perbukitan Desa Kutambelin, Kecamatan Laubaleng, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, berdiri megah sebuah patung Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Patung setinggi 4 meter ini, yang dinamai “Juma Jokowi”, terbuat dari tembaga dan berdiri di atas fondasi sedalam 1,5 meter.
Proyek ini menelan biaya hingga Rp2,5 miliar, yang dikumpulkan secara swadaya oleh masyarakat dari enam desa dan tiga dusun di kawasan Liang Melas Datas (LMD), serta sumbangan dari donatur termasuk Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang juga menantu Jokowi.
Pembangunan patung ini bukan tanpa alasan. Warga setempat menganggap Jokowi telah membawa perubahan besar melalui pembangunan jalan sepanjang 37 kilometer pada tahun 2022, yang sangat membantu mobilitas dan perekonomian petani jeruk di kawasan tersebut.
“Dari biasa kita dua jam lebih, ini hanya sekitar 45 menit sudah sampai di tujuan. Kalau dulu kan kita sangat capek sekali, sekarang sudah sangat-sangat nyaman sekali,” ungkap Kepala Desa Kuta Mbelin, Efranda Kembaren.
Patung Juma Jokowi tidak hanya sekadar replika fisik. Tangan kanan patung mengepal ke atas sebagai simbol semangat, sementara tangan kiri memegang tiga buah jeruk, melambangkan komoditas unggulan daerah tersebut.
Bagian bawah patung berbentuk api, menggantikan kaki, yang menandakan semangat membara masyarakat Karo dalam membangun daerahnya.
Baca Juga : Mengungkap Alasan Warga Desa Karo Rela Swadaya Bangun Patung Jokowi Rp 2,5 Miliar
Di sekeliling patung, dibangun taman jeruk yang memperindah kawasan, sekaligus menegaskan identitas Karo sebagai sentra jeruk di Sumatera Utara.
Lokasi patung yang strategis di perbukitan juga diharapkan menjadi daya tarik wisata baru, sekaligus simbol kebanggaan daerah.
Dana Rp2,5 miliar untuk pembangunan patung ini dikumpulkan sejak akhir 2021, bertepatan dengan momentum pengiriman satu truk jeruk ke Istana Kepresidenan sebagai bentuk permohonan perbaikan jalan.
Sumbangan berasal dari warga, donatur lokal, dan tambahan Rp500 juta dari Gubernur Sumatera Utara.
Namun, proses penggalangan dana ini juga menuai kritik. Sebagian warga menilai dana sebesar itu terlalu besar untuk ukuran desa yang mayoritas penduduknya adalah petani jeruk biasa, bukan pengusaha besar.
“Itu kan dari petani-petani biasa, petani jeruk, bukan pengusaha besar, mengeluarkan uang sebesar itu, diminta sumbangan-sumbangan, itu saya kira enggak etis, enggak layak,” ujar Samsul Bahri Sembiring, warga setempat.
Bagi sebagian besar warga LMD, patung Jokowi adalah wujud syukur dan apresiasi atas pembangunan yang telah mengubah kehidupan mereka.
Jalan yang dulu rusak parah selama puluhan tahun kini sudah mulus, memangkas waktu tempuh dan memudahkan distribusi hasil pertanian.
“Ungkapan rasa syukur dari masyarakat yang keluar dari hati sanubari yang paling dalam. Tidak ada unsur politik, yang ada hanya rasa bangga terhadap presiden,” ungkap salah satu warga di media sosial.
Ketua panitia pembangunan, Adil Sebayang, menegaskan bahwa motivasi utama adalah rasa terima kasih, bukan kepentingan politik.
“Monumen ini menjadi wujud terima kasih masyarakat kepada Jokowi yang dinilai mempercepat pembangunan daerah penghasil jeruk ini,” jelasnya.
Meski dibangun atas dasar swadaya dan apresiasi, patung Jokowi ini memicu perdebatan luas, terutama di media sosial.
Sebagian netizen menganggap pembangunan patung sebagai bentuk pemujaan berlebihan, bahkan menyamakannya dengan berhala.
Ada pula yang mempertanyakan urgensi dan efektivitas penggunaan dana miliaran untuk monumen, sementara kebutuhan dasar lain masih banyak yang belum terpenuhi.
“Rakyat Karo tidak butuh patung,” tulis seorang warganet, menyoroti bahwa pembangunan jalan adalah hak warga negara, bukan sesuatu yang perlu dipuja dengan patung.
Namun, ada juga yang membela, menilai patung sebagai bentuk penghargaan tulus dari masyarakat atas perubahan nyata yang mereka rasakan.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, menilai pembangunan patung ini sebagai bagian dari politik mercusuar, yakni upaya meninggalkan jejak monumental yang bisa dikenang publik.
Namun, ia juga mengingatkan agar pembangunan seperti ini tidak mengaburkan prioritas pembangunan yang lebih substansial dan berkelanjutan.
Dari sisi etika publik, muncul pertanyaan: apakah dana sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk infrastruktur lain, pendidikan, atau kesehatan? Ataukah apresiasi dalam bentuk monumen memang layak sebagai simbol perubahan dan kebanggaan kolektif?
Patung Jokowi di Karo adalah cermin dari dinamika masyarakat yang ingin mengabadikan rasa syukur sekaligus harapan pada perubahan.
Di satu sisi, monumen ini menjadi simbol penghargaan tulus atas pembangunan yang membawa dampak nyata.
Namun di sisi lain, besarnya dana yang dikeluarkan memunculkan perdebatan soal prioritas dan etika pengelolaan dana publik, meski sumbernya dari swadaya dan donatur.
Pada akhirnya, patung ini bukan hanya soal bentuk fisik, tapi juga tentang narasi kolektif masyarakat Karo: antara kebanggaan, kritik, dan harapan agar pembangunan ke depan tetap berpihak pada kebutuhan rakyat banyak, bukan sekadar simbol monumental.







xxgqk1
tspu5b