54 Persen BBM Indonesia Diimpor dari Singapura
Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak (BBM) untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 54 persen BBM yang dikonsumsi di Indonesia berasal dari impor, dengan Singapura sebagai pemasok utama.
Ketergantungan ini disebabkan oleh kapasitas produksi kilang dalam negeri yang belum mencukupi untuk memenuhi permintaan nasional. Meskipun Indonesia memiliki cadangan minyak mentah, keterbatasan dalam pengolahan membuat negara harus mengandalkan impor dari negara tetangga.
Pemerintah terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM dengan meningkatkan kapasitas kilang dalam negeri serta mendorong penggunaan energi alternatif. Sejumlah proyek pengembangan kilang sedang berjalan, termasuk peningkatan kapasitas kilang di Balikpapan, Cilacap, dan Dumai.
Selain itu, strategi diversifikasi energi melalui pengembangan biofuel dan energi terbarukan juga tengah diperkuat untuk mengurangi konsumsi BBM fosil. Dengan berbagai upaya ini, pemerintah menargetkan ketergantungan impor dapat berkurang secara bertahap, sehingga Indonesia bisa lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa 54% bahan bakar minyak (BBM) Indonesia berasal dari Singapura.
Ironi yang mencerminkan, bangsa kita yang kaya sumber daya ini justru mengimpor 54 persen BBM dari Singapura, ujar Bahlil dalam acara di Hotel The Westin Jakarta, Kamis (30/1/225), seperti dilansir dari detik.
Baca juga : Aturan Baru, Kuota Jalur Domisili SMA Berkurang
Bahlil menyoroti bahwa Singapura tidak memiliki ladang minyak, tetapi justru menjadi pemasok utama BBM bagi Indonesia.
Kita ini diimpor minyak oleh negara yang tidak punya minyak. Dan harganya sama dengan harga minyak dari Timur Tengah,” tambahnya.
Bahlil menjelaskan bahwa saat ini Indonesia mengimpor sekitar 1 juta barel BBM per hari. Kondisi yang sangat berbeda dengan tahun 1996-1997. Dimana Indonesia justru menjadi eksportir minyak dengan angka 1 juta barel per hari.
Pada periode 1996-1997, lift migas Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara konsumsi hanya 600.000 barel per hari.
Kini, pada tahun 2024, mengangkat migas Indonesia hanya 600.000 barel per hari, yang berarti produksi minyak nasional tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Dulu kita ekspor minyak, sekarang malah terbalik, kita impor satu juta barel per hari. Apakah bangsa kita benar-benar sudah tidak punya minyak?” ujar Bahlil.
Untuk mengatasi ketergantungan impor BBM, Bahlil menegaskan bahwa tata kelola migas harus segera diperbaiki dengan tiga langkah utama. Pertama mengaktifkan kembali sumur-sumur minyak yang tidak beroperasi (idle wells).
Kedua mengoptimalkan produksi dari sumur-sumur yang ada melalui teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR). Terakhir, percepat pengembangan 300 sumur eksplorasi yang sudah selesai tetapi belum masuk ke tahap Plan of Development (PoD).
Kita harus menyelesaikan persoalan ini, supaya kita tidak terus-menerus bergantung pada impor BBM,” tegas Bahlil.